Pancasila” Pemahaman Mengenai Quran
Sudut Pandang Seorang Muslim Liberal*
oleh Ulil Abshar-Abdalla

            Sikap yang terbaik yang harus dikembangkan oleh umat Islam adalah menghargai keragaman tafsir itu. Ya, saya mengatakan di atas bahwa tafsir-tafsir tertentu yang saya anggap bertentangan dengan tujuan pokok Islam harus ditolak. Tetapi hak orang-orang tertentu untuk mengemukakan tafsir itu tetap harus dihargai.

            Pada akhirnya, seleksi yang menentukan apakah sebuah tafsir diterima oleh zaman atau tidak adalah kesesuaian tafsir itu dengan semangat zaman tersebut, bukan palu kaum ortodoks. Wa-amma ma yanfa’u al-nasa fa-yamkutsu fi ‘l-ardl – hal-hal yangbermanfaat bagi manusia, tentu akan langgeng dan bertahan lama (QS 13:17).

            Ada beberapa prinsip dasar dalam “memperlakukan” (al-ta’amul) Quran dalam pandangan seorang Muslim liberal.

             Pertama, Quran adalah teks yang terbuka, dalam pengertian, ia terbuka kepada upaya penafsiran dari pihak manapun. Yang berhak atas penafsiran Quran bukanlah hanya kelompok ortodoks saja yang selama ini mendaku sebagai pemegang “pakem” kebenaran, melainkan kelompok non-ortodoks pun memiliki hak yang sama. Kelompok-kelompok heterodoks yang dipandang sesat oleh kelompok ortodoks memiliki hak untuk menafsir dan memahami Quran sesuai dengan kerangka doktrinal dan pandangan keagamaan yang mereka anut.

            Kebebasan menafsir Quran haruslah dijaminkan bagi semua golongan dalam Islam. Bahwa pelbagai golongan dalam Islam menunjukkan antusiasme yang tinggi untuk menafsir dan memahami Quran, bagi saya, menandakan bahwa umat Islam ingin sungguh-sungguh mencari otentisitas dalam kehidupan mereka dengan menjangkarkannya pada teks Quran. Tentu saja ini adalah kecenderungan yang positif dalam tubuh umat Islam. Setiap umat beragama (agama apapun) sudah tentu akan berusaha menjalani kehidupan yang otentik berdasarkan dasar-dasar keimanan yang diajarkan oleh kitab suci agama mereka masing-masing.

            Sama dengan kebebasan keyakinan/agama yang merupakan prinsip penting dalam kehidupan di sebuah demokrasi modern, begitu juga kebebasan untuk menafsir adalah salah satu prinsip penting dalam kebebasan keyakinan itu.

            Kedua, pesan-pesan Quran harus dipahami secara kontekstual. Pemahaman Quran secara harafiah bisa mendatangkan akibat yang fatal bagi kehidupan ramai dalam masyarakat, seperti kita lihat dalam contoh penggunaan “ayat-ayat jihad” untuk membenarkan tindakan terorisme akhir-akhir ini.

            Yang saya maksud dengan pemahaman secara kontekstual adalah pemahaman yang memperhitungkan baik konteks turunnya ayat dalam Quran maupun konteks penerapannya pada waktu tertentu. Ketika sebuah ayat Quran dikutip untuk membenarkan atau melarang suatu tindakan, kita harus memperhatikan kedua konteks itu: konteks turunnya ayat (siyaq al-nuzul) dan konteks penerapan (siyaq al-tathbiq).

            Sebagaimana pernah dikemukakan oleh Prof. Nasr Hamid Abu Zayd, hubungan Quran dan realitas sosial adalah hubungan yang sifatnya dua arah, dialektis; bukan searah saja. Quran dipengaruhi oleh kenyataan sosial, tetapi kenyataan juga dipengaruhi oleh ajaran-ajaran dalam Quran. Jika kita baca Quran, jelas sekali “bau” konteks sosial tertentu, yakni masyarakat Arab yang hidup pada abad ke-7. Bau konteks sosial itu tentu tak harus dipertahankan sepanjang zaman, sebab masing-masing zaman memiliki bau dan warna sendiri-sendiri. Tugas seorang penafsir adalah bagaimana meng-ekstraksikan esensi tertentu dari Quran, membuang bau yang melekat pada zaman dan konteks di mana ia turun, lalu menerapkannya pada konteks saat ini, dengan baunya yang khas. Inilah prindip penafsiran yang pernah dikemukakan dulu oleh Prof. Fazlur Rahman yang dikenal dengan prindip gerak ganda: gerak ke belakang (ke konteks saat ayat turun), dan gerak ke depan (ke zaman sekarang).

            Ketiga, Quran harus dipahami juga dalam kerangka tujuan umum yang dikehendaki oleh Islam. Pemahaman atas Quran yang justru berlawanan dengan tujuan umum ini jelas harus ditolak. Contoh yang sangat baik adalah bahwa tujuan umum yang ingin dituju oleh Islam adalah terciptanya masyarakat yang damai atas dasar saling pengertian (mutual understanding) seperti tercermim dalam QS 49:13. Oleh karena itu, jika sebuah ayat dijadikan sebagai pembenaran atas sikap kebencian kepada kelompok yang berbeda, baik beda agama atau paham, jelas sekali pemahaman seperti itu harus ditolak. Islam bukanlah agama yang menghendaki instabilitas sosial, melainkan ketertiban sosial berdasarkan kebebasan keyakinan, keadilan serta perdamaian. Pemahaman yang menganjurkan kebencian sosial jelas-jelas berlawanan dengan tujuan Islam semacam itu.

            Tidak seperti yang dipahami oleh sebagian kelompok, Islam bukanlah agama yang mengajarkan “perang terus-menerus” dengan orang-orang yang dianggap “kafir”. Islam menghendaki kehidupan yang tenteram di mana peradaban bisa dibangun dan potensi-potensi terbaik dalam diri manusia bisa dikembangkan untuk memakmurkan bumi. Dengan tegas, Quran menyatakan bahwa jika orang-orang yang dianggap “kafir” itu menghendaki perdamaian, maka umat Islam harus menyokong niat baik itu dengan bersama-sama membangun kehidupan yang damai. Wa-in janahu li al-salmi fa-jnah laha wa tawakkal ‘ala ‘l-Lah (QS 8:61). Islam dan umat Islam sudah seharusnya bisa hidup damai dengan orang-orang “kafir” atas dasar kesamaan hak, kebebasan keyakinan, perdamaian, keadilan, dan saling hormat (mutual respect).   

            Hanya dengan kerangka seperti inilah, umat Islam bisa membangun kehidupan sosial yang beradab, tentu bersama umat lain, baik yang beragama maupun tidak, bukan kehidupan yang penuh konflik, kekerasan, percekcokan, perselisihan yang tiada ujung karena perbedaan keyakinan.

            Keempat, Quran juga harus dipahami begitu rupa sehingga ia menjadi landasan keagamaan bagi pemuliaan manusia. Salah satu tujuan pokok kedatangan Islam dalam masyarakat manusia adalah “memuliakan anak-anak cucu Adam”, atau jika memakai bahasa saat ini: humanisme. Manusia adalah pusat perhatian Islam. Karena itu, jika Quran dipahami begitu rupa sehingga seolah-olah ia bisa dipakai untuk membenarkan sikap-sikap yang merendahkan martabat manusia, baik sebagai individu maupun komunitas, maka pemahaman seperti itu harus ditolak.

            Pemahaman atas Quran yang membenarkan sikap-sikap misoginis dan diskriminasi atas perempuan jelas harus ditolak, sebab misogini (kebencian pada perempuan) adalah sikap yang berlawanan dengan nilai kemanusiaan yang dijunjung tinggi oleh Islam dan Quran.

            Kelima, di atas semua itu, pemahaman Quran juga harus bersifat progresif, artinya maju terus sesuai dengan tingkat peradaban dan kedewasaan manusia. Tafsiran yang dianggap relevan di zaman dahulu, belum tentu relevan dengan keadaan yang lain. Peradaban manusia bukan bersifat mundur, tetapi maju terus, meskipun ada fase-fase di mana ia terseok dan tertatih-tatih. Pemahaman Quran, karena itu, haruslah bersifat “future oriented”, berpandangan ke depan, bukan menoleh terus ke belakang.

            Sebelum saya tutup esei pendek ini, perkenankan saya mengemukakan hal sederhana tetapi penting. Umat Islam memang memiliki Quran yang satu, tetapi pemahaman umat atas Quran tidak bisa satu. Menyeragamkan pemahaman Quran tidak sesuai dengan ajaran Quran sendiri yang menghargai perbedaan dan keragaman, selain bertentangan dengan sunnatullah atau tradisi Tuhan.

            Sikap yang terbaik yang harus dikembangkan oleh umat Islam adalah menghargai keragaman tafsir itu. Ya, saya mengatakan di atas bahwa tafsir-tafsir tertentu yang saya anggap bertentangan dengan tujuan pokok Islam harus ditolak. Tetapi hak orang-orang tertentu untuk mengemukakan tafsir itu tetap harus dihargai.

            Pada akhirnya, seleksi yang menentukan apakah sebuah tafsir diterima oleh zaman atau tidak adalah kesesuaian tafsir itu dengan semangat zaman tersebut, bukan palu kaum ortodoks. Wa-amma ma yanfa’u al-nasa fa-yamkutsu fi ‘l-ardl – hal-hal yangbermanfaat bagi manusia, tentu akan langgeng dan bertahan lama (QS 13:17).

            Sekian.

 


* Disampaikan dalam diskusi Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan tema “Muslim Liberal Memandang Quran” pada 24 September di Teater Utan Kayu (TUK).

Komentar Masuk (0 komentar)

Belum ada komentar
Post a comment or leave a trackback: Trackback URL.

Tinggalkan komentar