Oleh Radhar Panca Dahana
Bila kita mengingat bagaimana Julius Caesar ditikam mati Brutus, Saddam Hussein jatuh karena serbuan militer AS, Shah Iran jatuh oleh revolusi kaum mullah, hingga Soeharto jatuh akibat reformasi, maka kita tersadar akan makna: kekuasaan yang membengkak cenderung lupa (pada) diri (sendiri).
Kekuasaan yang berkembang biak, menggurita, menjadi kekuatan amat dominan, pada saat bersamaan sebenarnya juga sebuah kekuatan lupa. Ia tidak hanya sebuah kekuatan yang memaksa pihak lain atau publik lupa pada kerakusan kuasa yang dimiliki. Tetapi, lebih utama ia lupa pada ideal-ideal yang dulu berhasil mendapuknya ke singgasana; lupa untuk apa dan demi siapa ia berkuasa; dan lebih utama, ia lupa apa kekuasaan itu.
Gejala psikologis kekuasaan atau sindrom kekuatan lupa ini sebenarnya bisa ditemui di banyak tempat dan waktu dalam sejarah peradaban manusia. Juga kita menemukannya di negeri sendiri. Bahkan pada beberapa dekade mutakhir. Di berbagai rezim pemerintahan saling berganti, pascakemerdekaan diproklamasikan. Baca lebih lanjut