Di Balik Gemerlap dan Wibawa Jabatan

Oleh B Josie Susilo Hardianto

Refleksi Petruk, personifikasi tokoh kawula atau rakyat jelata dalam dunia pewayangan itu, sesungguhnya adalah gambar lain dari citra lugu yang dimiliki Minah, seorang nenek berusia 55 tahun yang divonis bersalah karena mengambil tiga buah cokelat. Minah mengaku bersalah, tetapi dalam pemaknaan sebagaimana diungkapkan Petruk, pengakuan itu adalah gugatan terhadap penegakan hukum di negeri ini.

Sebagai rakyat jelata, Minah sudi mengakui kekeliruan dan berhadapan dengan proses peradilan yang oleh banyak pihak dinilai kurang menempatkan rasa keadilan lebih daripada produk-produk mati berupa aturan-aturan hukum. Tidak salah jika peristiwa itu sesungguhnya layak menjadi bagian integral dari kritik rakyat terhadap sikap pemerintah yang cenderung abai terhadap perwujudan rasa keadilan publik.

Tidak mengherankan pula jika dihadapkan dengan fakta itu setelah rentetan aksi masa dan desakan publik terkait dengan kasus yang sempat menyeret komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, pencopotan Susno Duadji dari jabatannya sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri tidak mengejutkan, dan juga tidak terasa luar biasa.

Mengapa? Karena tampaknya bukan soal orang per orang. Meskipun banyak tokoh gerakan antikorupsi mendesak agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan jajaran di bawahnya, khususnya Kejaksaan Agung dan kepolisian, untuk mengusut tuntas nama-nama yang disebut dalam rekaman pembicaraan Anggodo Widjaja, namun—tampaknya—inti gugatan publik tidak pada pokok itu saja.

Lebih dari itu, mereka menginginkan adanya perubahan substansial atas proses penegakan hukum dan perwujudan keadilan di Indonesia. Langkah utama untuk itu adalah mereformasi instansi-instansi penegakan hukum, yang dinilai rentan terhadap korupsi dan mafia peradilan.

Apa yang terwujud dalam gerakan moral publik—yang mengental dalam gerakan antikorupsi—menurut Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hasril Hertanto, sesungguhnya adalah bentuk kritik warga kepada kondisi itu. ”Gerakan tersebut adalah akumulasi kekecewaan masyarakat terhadap proses penegakan hukum yang terkesan pandang bulu,” kata Hasril.

Kekuatan kekuasaan dan uang, menurutnya, sangat berpengaruh dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Bukan soal uang negara yang diambil, tetapi yang umum terjadi adalah penyalahgunaan wewenang demi keuntungan pribadi.

Rapuh

Apa yang diungkapkan Hasril Hertanto mengingatkan kembali pada sosok Hoegeng Iman Santoso, seorang jenderal polisi yang menjabat Kepala Polri pada era awal kepemimpinan Presiden Soeharto.

Tentu dipahami bahwa setiap orang yang dipilih dan diberi tanggung jawab lebih adalah orang-orang yang memiliki kapabilitas dan integritas yang memadai untuk mengemban tanggung jawab itu. Pada bagian kedepalan dalam biografinya yang berjudul Hoegeng, Polisi: Idaman dan Kenyataan, ia mengatakan, menjadi pejabat, apalagi pejabat penegak hukum, memang menghadapi banyak tantangan dan godaan. Banyak pejabat kaya raya hanya karena tidak tahan godaan disuap dan kemudian membuat pleidoi bahwa kekayaan itu didapatnya karena ”persahabatan”, ”diberikan cuma-cuma, sukarela”, dan semacamnya itu.

Hal itu menyiratkan bahwa pada gemerlapnya bintang-bintang kepangkatan dan sosok serta wibawa seorang pejabat, sekaligus ada kerapuhan manusia yang tidak mudah menolak kemewahan hidup. Amanah untuk menjadi pelayan publik justru dibalik menjadi sarana untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain.

Itu pula yang menjadi satu pokok keprihatinan Hoegeng. Dalam biografinya, Hoegeng mengatakan, tantangan yang jauh lebih berat adalah apabila kita dikeroyok rekan-rekan sendiri. Baik dari kepolisian atau bukan, untuk meremehkan hukum dan menomorsatukan kepentingan pribadi atau keluarga, ataupun lebih mengutamakan pemeliharaan hubungan baik dengan relasi ketimbang memelihara tegaknya hukum dan peraturan.

Dalam biografi yang ditulis Abrar Yusra dan Ramadhan KH itu, jenderal polisi yang dikenal antikorupsi ini mengatakan, dengan rasionalisasi moral, atau dengan alasan dicari-cari, para pejabat digoda, lalu terbiasa menumpulkan hati nuraninya. Bagaimana menciptakan pemerintah yang bersih dan berwibawa kalau para atasan tidak menjadi contoh teladan?

Lebih celaka lagi kalau ia menjadi imam dalam membudayakan birokrasi berhadiah. Lebih mementingkan relasi daripada masyarakat. Yang terjadi hanya meluasnya ”kebudayaan korupsi” yang disinyalir Bung Hatta. Jangankan korupsi akan berkurang, justru makin mewabah sampai ke pegawai negeri lapisan bawah.

Rela berkorban

Sayang apa yang dikhawatirkan Hoegeng itu kini justru menjadi fakta yang kerap ditemui masyarakat. Fakta itu tidak hanya dapat ditemukan di lingkungan kepolisian, tetapi juga ada pada berbagai instansi penegak hukum lain. Rekaman pembicaraan Anggodo Widjaja dengan beberapa orang menjadi bukti telanjang tentang adanya persoalan tersebut.

Berangkat dari itu, masyarakat menjadi mafhum apa yang selama ini menjadi sandungan sehingga keadilan sulit sekali diwujudkan. Tentu saja masyarakat gundah. Gundah karena para pejabat ternyata tidak menghargai rakyat. Bukannya bertindak lebih demi semakin terwujudnya kemakmuran dan keadilan bagi rakyat, tetapi justru sebaliknya, mereka menjarah hidup rakyat.

Padahal, sebagaimana ditulis bersama oleh budayawan Sindhunata dan I Kuntara Wirjamartana dalam ”Obrolan Ki Petruk, Vox Populi, Vox Dei” (Basis, No 01-02, Tahun Ke-45, Januari-Februari 1996), kekuasaan seharusnya justru mau dan berani berkorban demi terwujudnya kesejahteraan dan keadilan untuk rakyat. Sebab, kuasa atau kekuasaan hanyalah sarana untuk berkorban.

Dalam tulisan itu, Sindhunata melalui tokoh Petruk—tokoh pewayangan yang merupakan personifikasi rakyat jelata—menuliskan gagasannya: ”Kalau penguasa tidak punya jiwa berani berkorban, kendati ia masih berkuasa, ia tidak akan dianggap oleh rakyat. Raja itu bukan raja lagi, kalau sudah ditinggal kawula. Siapa yang dapat memangkunya, agar ia dapat menduduki tahta, kalau bukan rakyat? Raja yang tidak dipangku adalah raja yang ditinggalkan wahyu,” kata Petruk.

Itu semua bukanlah omong kosong. Pada diri Hoegeng, apa yang diungkapkan Sindhunata mewujud. Hoegeng dengan seragam lengkap berikut tanda jabatan sebagai Kapolri turun tangan dan membantu mengatur lalu lintas.

Tentang itu, dalam biografinya ia mengatakan, polisi adalah polisi, itulah makna kedudukan dan perannya di tengah masyarakat. Dalam posisi sosial demikian, seorang agen polisi sama saja dengan seorang jenderal polisi. Tentu saja yang terakhir memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang lebih besar.

”Hakikat seorang polisi demikianlah yang membuat saya mencintai tugas kepolisian dan bangga sebagai polisi, tanpa membedakan kedudukan dan pangkat. Itulah sebabnya kenapa saya tidak pernah merasa malu turun tangan mengambil alih tugas teknis seorang agen polisi yang kebetulan sedang tidak ada atau tidak di tempat.”

Dan, ia pun menegaskan bahwa itu dilakukannya dengan ikhlas sekaligus memberi contoh dan motivasi serta kecintaan polisi terhadap tugasnya. Hal itu, menurutnya, merupakan bagian dari persepsinya tentang kehormatan, kewajiban, dan tanggung jawab seorang polisi. Ia ingin mulai menegakkan citra ideal seorang polisi dari dirinya sendiri dan bersamaan dengan itu menampilkan citra komandan polisi yang baik.

Dalam konteks itu, Rusdi Marpaung dari Imparsial berpendapat, reformasi peradilan dan hukum di Indonesia tidak lagi dapat ditunda-tunda. Desakan publik agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berani bersikap tegas, menurutnya, bukanlah semata-mata karena ia harus menindak aparatnya yang diduga terlibat.

Lebih dari itu, desakan publik selayaknya dimaknai sebagai dorongan dan dukungan kekuatan bagi pemerintah untuk menjalankan semua agenda reformasi hukum di Indonesia. Presiden, tutur Rusdi Marpaung, jangan lagi hanya mengimbau jajarannya untuk berbenah diri.

Post a comment or leave a trackback: Trackback URL.

Tinggalkan komentar